HIBURAN WAYANG KULIT TERBAIK HANYA DI damargumilang.com PAGELARAN HIBURAN WAYANG KULIT 085803669546 DI Melawi
KESENIAN tradisional wayang kulit lahir, hidup, tumbuh, berkembang terpenting dalam masyarakat Jawa. Lebih dari sekadar pertunjukan, wayang kulit dahulu adalah media permenungan menuju roh spiritual para dewa.
Istilah “wayang” sendiri berasal dari kata “ma Hyang”, yang berarti menuju spiritualitas Sang Kuasa. Melainkan ada juga yang mengatakan “wayang” berasal dari teknik pertunjukan yang mengandalkan bayang-bayang (bayang/wayang) di layar.
Wayang kulit, terbuat dari kulit kerbau, diyakini sebagai embrio dari berbagai-ragam macam wayang yang ada dikala ini. Dia dimainkan seorang dalang; diiringi musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga (pemain gamelan) dan tembang yang didendangkan para pesinden. Tiap bagian dalam pementasan wayang memiliki simbol dan makna filosofis yang kuat. Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu mengajarkan budi pekerti yang luhur, saling mencintai dan menghormati, sambil sekali-sekali diselipkan kritik sosial dan peran lucu melewati adegan goro-goro.
Wayang kulit mempunyai sejarah panjang. Catatan tertua perihal wayang kulit atau wayang purwa tersua dalam Prasasti Kuti bertarikh 840 M dari Joho, Sidoarjo, Jawa Timur. Prasasti ini menyebut kata haringgit atau dalang. “Haringgit merupakan format halus dari kata ringgit. Kata ini hingga sekarang masih ada dalam bahasa Jawa, yang berarti wayang,” catat Timbul Haryono, guru besar arkeologi Universitas Gadjah Mada, dalam “Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur” termuat di 100 Tahun Pasca Pemugaran Candi Borobudur.
Pada masa itu, dalang memimpin dan memainkan pertunjukan wayang di lingkungan istana. Arkeolog Dyah W. Dewi dalam “Kesenian Wayang Pada Masa Jawa Kuno dan Persebarannya di Asia” menyebut pertunjukan wayang mempunyai arti khusus. “Sehubungan dengan diselenggarakannya suatu upacara untuk memperingati suatu kejadian,” catat Dyah, termuat di Pertemuan Arkeologi V.
Beberapa ahli pewayangan, seumpama R.M. Mangkudimedja, menyangka bentuk permulaan wayang tak seperti kini. Dulu wayang cuma nampak komponen depannya. Bahan dasar pembuatan wayang bahkan berbeda dari kini. Dahulu wayang terbuat dari daun lontar, bukan kulit binatang ternak seperti sekarang.
Melainkan selingkar pakar arkeologi lainnya menentang dugaan R.M. Mangkudimedja. Seumpama Soedarso Sp. Dia meyakini wayang telah terbuat dari kulit. Ia mendasarkan pandangannya pada isi Kakawin Arjunawiwaha anggitan Mpu Kanwa bertarikh 1036 M.
Tentang lakon dalam pertunjukan wayang kulit jangka waktu awal, cuma Prasasti Wukajani dari zaman pemerintahan Raja Mataram bernama Dyah Balitung (907 M) yang menyebutnya cukup jelas. Prasasti Wukajani menyebut mawayang bwat hyang atau pertunjukan wayang dengan lakon Bima Kumara. Kisah ini sempalan dari wiracarita Mahabharata yang bertutur seputar kegilaan Kicaka pada Drupadi.
Keterangan perihal wayang kulit termaktub pula pada relief di candi-candi Jawa Timur abad ke-10 seperti Candi Surawana, Candi Jago, Candi Tigawangi, dan Candi Panataran. Ketidakhadiran wayang kulit dalam relief candi di tiga tempat berbeda menampakkan kesenian ini sudah menyebar ke beragam kawasan.
Perkembangan wayang kulit memasuki babak baru pada masa kesultanan Islam. Wayang kulit tidak lagi eksklusif milik lingkungan istana. Para pendakwah Islam di Jawa membawa wayang kulit ke masyarakat akar rumput. Mereka juga merubah wujud-bentuk wayang supaya sejajar dengan ajaran Islam dan tujuan dakwah. Sebagian pendakwah Islam itu juga seorang dalang yang andal. Yang paling terkenal adalah Sunan Kalijaga
Lakon dalam pertunjukan wayang kulit masa Islam masih mengambil kisah-kisah dari Mahabharata. Tetapi pendakwah Islam memasukkan beberapa istilah dan tokoh baru dalam lakon-lakon itu. Antara lain empat tokoh lucu yang diketahui sebagai panakawan: Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng.
Kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara ikut memberi warna baru bagi wayang kulit. Para penyebar agama Katolik dari Sarikat Jesuit pada masa kolonial mencontoh jejak pendakwah Islam dalam mengaplikasikan wayang kulit sebagai media penyebaran agama.
Padahal wayang kulit di sejumlah wilayah seperti itu terbuka terhadap sentuhan baru, wayang kulit di Yogyakarta dan Surakarta masih mempertahankan model pakem. Artinya, pedalang di sana membuat sejumlah ketentuan perihal pementasan wayang kulit. Mulai wujud wayang, lakon, tokoh-tokohnya, hingga kelengkapan teknis lainnya. Pakem mereka merujuk pada pementasan wayang kulit masa Mataram Kuna.
Semenjak kemerdekaan, Indonesia mempunyai sejumlah sekolah tinggi dengan jurusan pedalangan. Dari lembaga inilah, kemungkinan baru kepada pengembangan wayang kulit bergulir. Pementasan wayang kulit beberapa kali keluar pakem. Sedangkan lakon cerita, tokoh, dan hal teknis pengaplikasian layar digital serta teknologi terupdate.
Sedangkan wayang kulit sekarang tampil dalam pelbagai wajah, pertunjukan ini tetap memikat dan lestari. Masing-masing jenis pertunjukan punya penggemarnya. Orang-orang dari negeri jauh bahkan rela datang ke Indonesia untuk mempelajari sejarah dan format-bentuk pertunjukan wayang kulit untuk kemudian digulirkan dalam format baru di negara mereka masing-masing.
Wayang kulit lahir, tumbuh, hidup di Indonesia, kemudian menyebar ke penjuru dunia. Pendidikan salah kalau Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan , Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco) memutuskan wayang kulit sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.